Apa salah menjadi idealis?


Sangat beragam pengertian dari sebuah kata idealisme, yang pelakunya sering kita sebut sebagai idealis. Lalu, apa masalahnya?
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang anak manusia biasanya memiliki prinsip hidup yang dia pergunakan sebagai alat “benchmarking” terhadap apa yang dia hadapi sehari-hari. Kenyataan sebagai seorang mahasiswa di bangku kuliah dulu, terutama bagi mahasiswa yang masa kuliahnya bersamaan dengan derap reformasi, idealisme dan idealis seolah merekat kuat dalam kehidupan. Sesuatu yang kita anggap salah selalu kita kecam, terlepas dari perilaku buruk mahasiswa yang mempersiapkan contekan menjelang ujian atau mangkir.

Waktu aku lulus kuliah, Bapak selalu mewanti-wanti anaknya akan pentingnya suatu idealisme. Kenapa? Karena sebagai manusia biasa, tentunya di saat kita menghadapi realita/kenyataan, maka akan ada kecenderungan untuk ikut dalam arus yang ada. Sesuai dengan peribahasa Jawa “..ngeli tur ora keli..”, ikut arus tapi tidak sampai terseret, maka meskipun idealisme kita tergerus, maka setidaknya masih ada setetes idealisme dalam pikiran dan tindakan kita. Ambil contoh sebuah gelas yang terisi air, yang dianalogikan sebagai timeline atau rentang waktu kita bekerja hingga pensiun. Segelas penuh air sama dengan 35 tahun kita berkarya. Apabila idealisme kita hanya memenuhi setengah dari kapasita gelas, maka pada suatu saat air dalam gelas itu bisa habis sebelum waktunya, dan kita akan kekeringan idealisme, sehingga manusia idealis itu pada akhirnya secara total menghamba pada realita dan lingkungan yang ada.Tapi jika kita penuhi gelas itu dengan sikap idealis yang kita bawa sewaktu masih menjadi mahasiswa, setidaknya, sekali lagi setidaknya, masih ada setetes idealisme yang tersisa pada saat kita berada di puncak karir kita. Satu tetes yang sangat berharga di tengah puncak kesuksesan sehingga kita tidak terhanyut oleh kenikmatan materi.
Yah, itulah yang terjadi dalam lingkunganku sekarang. Juga di lingkungan lain tentunya. Di saat kita memilih untuk mempertajam visi misi “the company“, kita dibilang memperkeruh suasana. Di saat kita mempunyai niat untuk melakukan benah diri, di saat itu juga berbagai preseden bermunculan. Sedikit demi sedikit kita harus berkompromi dengan keadaan dan kenyataan. Itulah kenapa kita sedari awal harus “mengisi gelas dengan penuh”, karena pasti ada saatnya kita harus menanggalkan sedikit idealisme kita. Konsekuensi untuk menjadi idealis memang berat di tengah-tengah dunia yang pragmatis. Sedikit saja kesalahan dalam meng’ejawantah’kan idealisme, jurang lebar menganga harus kita lompati. Sekali gagal, maka selamat tinggal.
Sejak dulu kami diajarkan bahwa jujur adalah keharusan, saat dewasa kami berusaha untuk jujur namun dikatakan tidak fleksibel dan dipersulit dalam melangkah. Saat kami berusaha untuk mengejar semua yang kami impikan dan menjadi idealis, maka kami dikatakan tidak realistis. Saat kami mengejar kesempurnaan, maka kami dikatakan perfeksionis dan terlalu berambisi. Dulu diajarkan bahwa yang terpenting adalah usaha dan berjuang, kini kami diharuskan memiliki koneksi dan yang berarti adalah hasil pencapaian.
Apabila kesuksesan sendiri terbagi atas beberapa dimensi, apalagi hidup ini. Idealisme di mana dan yang mana, tentu semua orang memiliki tolak ukurnya masing - masing. Dan tidak ada yg salah dengan perkataan si B itu. Semuanya benar. Tetapi itu juga menunjukkan bahwa dia (si B) adalah seorang yg idealis. Seorang idealis mengatakan jangan menanyakan hal dan saran pada seorang idealis. Pernyataan itu tidak logic, jadi mana yg benar? Menurutku itu hanyalah ego pribadi si B. Tidak ada yg perlu dibuktikan dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Aku masih percaya, selama aku mau, apapun bisa kuraih dan apapun bisa kudapatkan.
The sky is my limit

Read More......